Rabu, 13 Juli 2011

Islam adalah akar budaya bangsa Indonesia

Oleh: Fauzan Andriani

Islam dan kaum Muslimin Indonesia memiliki peranan yang tidak main-main dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Islam masuk dan datang langsung dari tempatnya bermula, Makkah dan Madinah, datang pada abad pertama tahun Hijriyah (abad 7 Masehi). Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, salah seorang pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung, mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia ketika Rasulullah saw., masih hidup. Bahkan Hamka menuliskan, sahabat Rasulullah saw., Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah datang ke tanah Jawa dan menjadi duta dakwah untuk kerajaan Kalingga.

Untuk melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia memang tidak mudah. Ada 3 (tiga) teori yang menjelaskan kedatangan Islam di Indonesia. Teori pertama, diusung oleh Snouck Hurgronje (Yahudi dari Belanda) yang mengatakan bahwa Islam masuk Indonesia dari wilayah anak benua India, seperti Gujarat, Bengali dan Malabar, yang disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara. Teori ini dikenal dengan nama teori Gujarat. Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan bahwa teori ini didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni abad ke-12 atau 13 M. Sebenarnya Snouck hanya menjiplak teori yang dikemukakan oleh Pijnappel, seorang sarjana studi ilmu-ilmu Islam dari Universitas Leiden, Belanda.

Teori kedua adalah teori Persia. Sebab, Persia (Parsi) disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini didasarkan adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia (Iran sekarang yang menganut paham Syi’ah). Sebut saja misalnya, peringatan 10 Muharram (hari Asyura), Maulid Nabi Muhammad saw., Isra’ Mi’raj, Tahun Baru Hijriyah, dan lain-lain. Teori ini meyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13 Masehi dan wilayah yang pertama adalah Samudera Pasai (Aceh Utara).

Teori ketiga disebut juga teori Arabia. Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13 Masehi, melainkan pada awal abad ke-7 Masehi. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad pertama Hijriyah, bahkan pada masa Khulafa ar-Rasyidin telah beberapa kali terjadi pengiriman duta dakwah ke Indonesia. Sumber-sumber literatur Cina menyebutkan bahwa menjelang seperempat abad ke-7 Masehi sudah berdiri perkampungan Arab-Muslim dipesisir pantai Sumatera. Dalam kitab sejarah Cina, Chiu T’hang Shu, disebutkan bahwa Cina pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (sebutan untuk orang Arab) pada tahun 651 Masehi atau 29 Hijriyah. Empat tahun kemudian, datang lagi duta dakwah dari Arab yang dikirim oleh Tan mi mo ni’ (sebutan untuk Amirul Mukminin). Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kekhalifahan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa Utsman bin ‘Affan menjadi khalifah.



Lalu bagaimana dengan buku sejarah kita yang menjadi bahan ajar guru dan siswa di Sekolah?

Ada usaha-usaha jahat yang tersistematis untuk membelokkan sejarah Islam dan kaum Muslimin sejak awal yang dilakukan oleh penjajah Belanda dan antek-anteknya. Mereka menulis bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi, padahal realitanya Islam sudah ada sejak abad ke-7 Masehi. Muhammad saw., sendiri sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, masih sebagai pedagang, sudah berkenalan dengan pedagang-pedagang dari Nusantara. Karena itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasulullah, para pedagang Indonesia (umumnya adalah pedagang dari Aceh dan Makassar), sudah tidak asing lagi dengan beliau dan masuk ke dalam Islam pada saat itu.

Jadi, masuknya Islam ke negeri kita terjadi pada masa Rasulullah saw., masih berada di Makkah, pada awal diperkenalkannya Islam. Bukan dari Gujarat atau Persia, karena Gujarat dan Persia adalah pusatnya Syi’ah Rafidhah. Islam ke Indonesia pertama kali masuk ke Samudera Pasai, karenanya tidak mungkin Samudera Pasai itu beraliran Syi’ah. Sebab fakta dan data yang ditunjukkan oleh Ibnu Battutah menunjukkan bahwa Samudera Pasai itu berpaham ahlussunnah wal jamaah (tapi kenyataan sekarang banyak yang berpaling dari dari manhaj ini—pen.).

Ada yang salah dengan buku sejarah nasional kita. Sebab, yang ditulis dalam buku sejarah kita yang didahulukan adalah unsur Hindu dan Budha, Islam belakangan. Dalam buku sejarah juga ditulis bahwa akar dan budaya dasar bangsa Indonesia adalah Hindu dan Budha. Padahal, Islam datang satu langkah lebih dulu daripada kedua agama itu. Catatan sejarah yang menyatakan Hindu lebih dahulu datang dengan bukti prasasti Raja Purnawarman yang disebutkan ada pada abad ke-5 Masehi perlu dikoreksi dan dipertanyakan lagi, karena penggunaan huruf Sanksekerta baru dikenal di India pada abad ke-10 Masehi, jadi ada hal yang sangat rancu dengan sejarah nasional bangsa ini.

Pembelokan sejarah inilah yang membuat umat Islam menjadi malas dan tidak mau membela agamanya sendiri. Kita dipesonakan oleh budaya Hindu dan Budha, sehingga lebih banyak yang sibuk berwisata ke Candi Borobudur dan Prambanan, pusat penyembahan kaum musyrik di Indonesia). Padahal jumlah prasasti itu jauh lebih sedikit daripada jumlah masjid yang tersebar di Indonesia. Bahkan untuk mendukung teori ini dimunculkan penjelasan baru bahwa pesantren itu terinspirasi oleh sistem pendidikan yang ada di Hindu. Ini jelas salah total dan penjelasan yang sangat konyol. Sebab, Hindu tidak punya konsep pesantren. Sampai sekarang di Bali itu tidak ada yang namanya pesantren Hindu. Pesantren ini asalnya dari Timur Tengah, yang dikenal dengan nama madrasah atau ma’had.

Kalau kita mengikuti pola Hindu dan Budha, nama-nama kita semua pasti memakai nama binatang. Sebut saja seperti Hayam Wuruk, Gajah Mada, Munding Laya, Kebo Ampel, dan lain-lain. Sedangkan Islam mengajarkan agar kita memberikan nama pada anak dengan nama-nama yang baik. Jadi, tidak benar bangsa ini berbudaya Hindu.

Proses pembelokan dan perusakan sejarah ini dilakukan oleh Belanda dan antek-anteknya karena umat Islamlah yang mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Umat Islam Indonesia punya sejarah panjang tentang perlawanan terhadap penjajah. Ketika Malaka dikuasai Portugis, umat Islam dari Indonesia (Aceh dan Demak) menyerang Portugis untuk membebaskan Malaka. Ketika Portugis masuk ke Sunda Kelapa, langsung dihadang oleh menantunya Sunan Gunung Djati, Fatahillah, yang membebaskan Sunda Kelapa dari penjajahan Portugis lalu mengganti nama Sunda Kelapa dengan nama Fathan Mubina yang diambil dari QS. Al-Fath: 1. Jadi bukan kota Jayakarta atau Jakarta seperti yang selama ini ditulis dalam buku sejarah kita dan menjadi ibukota negara.

Bahkan sebelum penjajah datang, umat Islam sudah memiliki identitas bendera, warnanya merah dan putih. Ini juga terinspirasi oleh bendera Rasulullah saw., yang juga berwarna merah dan putih yang dipakai beliau ketika terjadi perang Khaibar. Rasulullah saw., pernah bersabda: “Allah telah menundukkan dunia padaku, timur dan barat. Aku juga diberi warna yang sangat indah, yakni al-ahmar (merah) dan al-abyan (putih)”.

Karena itu, kita perlu pertanyakan dan koreksi kembali sejarah nasional kita yang ada di dalam Monumen Nasional (Monas), kenapa dalam diorama di Monas ditampakkan bahwa Protestan dan Katolik itu adalah pemersatu bangsa? Sedangkan Islam hanya ditampilkan dan diwakili oleh Muhammadiyah dalam gerakan nasional saja. NU, Persis, Al-Irsyad, Sarekat Islam, dan lain-lain tidak disebutkan sama sekali. Mana ada dalam sejarah bangsa ini Protestan dan Katolik itu berperang melawan penjajah yang seagama dengan mereka? Justru mereka sendiri sudah hidup enak dalam perlindungan penjajah dan tidak punya sedikitpun cita-cita untuk merdeka.

Saat proklamasi pun, peran umat Islam sangat besar. Tanggal 17 Agustus 1945 hari Jum’at, bertepatan dengan tanggal 19 Ramadhan 1364 Hijriyah, Soekarno pada saat itu didesak untuk memproklamasikan negara ini oleh para ulama. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari (NU), Abdul Mukti (Muhammadiyah), dan lain-lain. Masjid Syuhada Yogyakarta juga menjadi saksi bisu bahwa umat Islam yang memerdekakan republik ini. Patung Pangeran Diponegoro yang ada di Monas juga menjadi lambang bahwa Islam dan Kaum Muslimin yang mengawal dan memerdekakan negara ini dari tangan penjajah. TNI juga tidak mungkin ada jika bukan karena desakan ulama-ulama pendiri PETA yang berjumlah 68 batalyon (awalnya bernama Badan Keamanan Rakyat, lalu diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 3 Oktober 1943), seperti KH. Mas Mansyoer, Tuan Guru H. Mansoer, Tuan Guru H. Jacob, H. Moh. Sadri, KH. Adnan, KH. Djunaedi, Dr. H. Karim Amrullah, dan lain-lain.

Tanggal 23 Oktober 1945, NU mengeluarkan Resolusi Jihad untuk mempertahankan republik Indonesia dari serbuan Belanda dan tentara sekutu. Tanggal 7 November 1945, Masyumi didirikan dan menyatakan bahwa 60 juta Muslim Indonesia siap berjihad fi sabilillah. Tanggal 10 November 1945 meletus perang terhadap agresi Belanda dan Sekutu (AS dan Inggris), dimana pada perang fi sabilillah ini Bung Tomo menjadi tokoh nomor satu yang paling dicari penjajah karena keberaniannya dalam membentuk pasukan bom syahid. Dalam sejarah Perang Dunia II, tidak ada Jenderal dari tentara Sekutu yang terbunuh kecuali di Indonesia. Satu di Surabaya, satu lagi di Bojong Kukusan. Ini merupakan catatan sejarah yang paling memalukan bagi Inggris dan Amerika.

Penipuan dan kedustaan lain dalam buku sejarah nasional kita adalah bahwa Nasrani juga turut berjuang dalam mengusir penjajah. Mereka mengambil contoh Pattimura atau Thomas Mattulessy. Ini sungguh dusta yang sangat menggelikan, karena tulisan tentang Pattimura hanyalah omong kosong dusta dari seseorang yang bernama M. Sapija (lihat tulisan Agung Pribadi, Pattimura itu Muslim Taat, 2003; lihat juga tulisan Drs. M. Nour Tawainella: Menjernihkan Sejarah Pahlawan Pattimura, dalam Majalah Panji Masyarakat Edisi 11 Mei 1984). Jadi, tidak ada yang namanya Thomas Mattulessy. Yang ada adalah Kapiten Ahmad Lussy atau dikenal dengan Mat-Lussy, seorang Muslim taat yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda.

Bahkan Sisingamangaradja XII juga adalah seorang Muslim, tetapi Nugroho Notosusanto cs berkata bahwa Sisingamangaradja XII adalah penganut agama Sinkretis (pelbegu). Nugroho Notosusanto dan kawan-kawannya ini adalah otak pemalsu sejarah nasional yang paling spektakuler, dia memalsukan sejarah PKI, sejarah Sjarekat Dagang Islam, sejarah Jong Islamieten Bond yang didirikan tahun 1925 (lihat dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid V, hal, 195-196).

Pembelokan sejarah emas umat Islam Indonesia ini telah membuat kita kehilangan kepribadian. Karena sejarah itu sama dengan ingatan, apa jadinya manusia tanpa ingatan. Karenanya, kita perlu membangkitkan kesadaran sejarah Muslim Indonesia yang luar biasa ini. Ironis memang, tapi inilah fakta mengapa umat Islam hari ini terutama generasinya menjadi generasi yang malas membela agamanya sendiri, bahkan menjadi generasi yang mempertuhankan syahwat, generasi pengikut dan pemuja setan. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Bagian Otak Manusia yang Membuat Dusta

Oleh Abduldaim Al-Kahil

Selama ini, para ilmuwan tidak mengetahui di bagian otak mana pada manusia yang paling bertanggung jawab terhadap sebuah dusta atau kebohongan. Orang hanya tahu kalau dusta itu muncul dari sebuah ucapan, tapi tidak mengetahui kalau itu ada hubungannya dengan bagian tertentu dalam otak.
Setelah melakukan penelitian, akhirnya para ilmuwan menemukan sebuah kesimpulan. Bahwa, otak bagian depan yang terletak pada ubun-ubun itulah yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya dusta.
Kesimpulan ini, sebenarnya tergolong sangat telat jika dibandingkan dengan apa yang sudah diisyaratkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya dalam Alquran. Bagian otak tersebut disebut Alquran dengan nama ‘nashiyah’ atau ubun-ubun.
Yang mengagumkan adalah bahwa Al-Quran sejak berabad-abad yang lalu telah berbicara tentang fungsi ubun-ubun ini ketika membicarakan Abu Jahl:
Allah swt. berfirman dalam Surah Al-‘Alaq ayat 15 dan 16.

كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ * نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ

“Ketahuilah, sungguh jika Dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya[1], (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.

[1] Maksudnya: memasukkannya ke dalam neraka dengan menarik kepalanya.

Al-Quran memberikan sifat كاذبة خاطئة (mendustakan lagi durhaka). Kenyataan seperti inilah yang ditemukan para ilmuwan pada masa sekarang ini dengan menggunakan pemindaian resonansi magnetik.
Maha Suci Allah Yang telah menyatakan fakta ini yang menunjukkan kemukjizatan Al-Quran yang baru ditemukan pada masa sekarang ini. mnh/al-kaheel

Selasa, 21 Juni 2011

Rahasia Membangun Piramida Firaun

Oleh Abdul Daim Al-Kahil

Sejak lama para ilmuwan bingung bagaimana cara sebuah piramida dibangun. Hal ini karena teknologi mengangkat batu-batu besar yang bisa mencapai ribuan kilogram ke puncak-puncak bangunan belum ditemukan di zamannya. Apa rahasia di balik pembangunan piramida ini?
Dalam edisi tanggal 1 Desember 2006, Koran Amerika Times menerbitkan berita ilmiah yang mengkonfirmasi bahwa Firaun menggunakan tanah liat untuk membangun piramida! Menurut penelitian tersebut disebutkan bahwa batu yang digunakan untuk membuat piramida adalah tanah liat yang dipanaskan hingga membentuk batu keras yang sulit dibedakan dengan batu aslinya.
Para ilmuwan mengatakan bahwa Firaun mahir dalam ilmu kimia dalam mengelola tanah liat hingga menjadi batu. Dan teknik tersebut menjadi hal yang sangat rahasia jika dilihat dari kodifikasi nomor di batu yang mereka tinggalkan.
Profesor Gilles Hug, dan Michel Profesor Barsoum menegaskan bahwa Piramida yang paling besar di Giza, terbuat dari dua jenis batu: batu alam dan batu-batu yang dibuat secara manual alias olahan tanah liat.
Dan dalam penelitian yang dipublikasikan oleh majalah “Journal of American Ceramic Society” menegaskan bahwa Firaun menggunakan jenis tanah slurry untuk membangun monumen yang tinggi, termasuk piramida. Karena tidak mungkin bagi seseorang untuk mengangkat batu berat ribuan kilogram. Sementara untuk dasarnya, Firaun menggunakan batu alam.
Piramida, dan lumpur yang sudah diolah menurut ukuran yang diinginkan dibakar untuk diletakkan di tempat yang paling tinggi.
Lumpur tersebut merupakan campuran lumpur kapur di tungku perapian yang dipanaskan dengan uap air garam dan berhasil membuat uap air sehingga membentuk campuran tanah liat. Kemudian olahan itu dituangkan dalam tempat yang disediakan di dinding piramida.
Profesor Davidovits telah mengambil batu piramida yang terbesar untuk dilakukan analisis dengan menggunakan mikroskop elektron terhadap batu tersebut dan menemukan jejak reaksi cepat yang menegaskan bahwa batu terbuat dari lumpur. Selama ini, tanpa penggunaan mikroskop elektron, ahli geologi belum mampu membedakan antara batu alam dan batu buatan.
Dengan metode pembuatan batu besar melalui cara ini, sang profesor membutuhkan waktu sepuluh hari hingga mirip dengan batu aslinya.
Sebelumnya, seorang ilmuwan Belgia, Guy Demortier, telah bertahun-tahun mencari jawaban dari rahasia di balik pembuatan batu besar di puncak-puncak piramida. Ia pun berkata, “Setelah bertahun-tahun melakukan riset dan studi, sekarang saya baru yakin bahwa piramida yang terletak di Mesir dibuat dengan menggunakan tanah liat.”
Selama ini, ilmuwan hanya mempunyai jawaban yang fiktif soal cara membangun piramida Firaun. Bagaimana mengangkat batu-batu besar yang jumlahnya mencapai 2,8 juta batu. Waktu itu, mereka menyatakan secara fiktif bahwa orang Mesir kuno memiliki kemampuan mengangkat jutaan batu yang beratnya sekitar lima atau enam ribu kilogram!
Penemuan oleh Profesor Prancis Joseph Davidovits soal batu-batu piramida yang ternyata terbuat dari olahan lumpur ini memakan waktu sekitar dua puluh tahun.
Sebuah penelitian yang luas tentang piramida Bosnia, "Piramida Matahari" dan menjelaskan bahwa batu-batunya terbuat dari tanah liat! Ini menegaskan bahwa metode ini tersebar luas di masa lalu. (Gambar dari batu piramida).
Sebuah gambar yang digunakan dalam casting batu-batu kuno piramida matahari mengalir di Bosnia, dan kebenaran ilmiah mengatakan bahwa sangat jelas bahwa metode tertentu pada pengecoran batu berasal dari tanah liat telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu dalam peradaban yang berbeda baik Rumania atau Firaun!
Alquran Ternyata Lebih Dulu Punya Jawaban
Jika dipahami lebih dalam, ternyata Alquran telah mengungkapkan hal ini dari beberapa ayat-ayat yang Allah firmankan. Antara lain:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ

“Dan berkata Fir'aun: ‘Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta." (Al-Qashash:38)

Ayat ini menunjukkan rahasia dari teknologi konstruksi yang digunakan untuk bangunan tinggi sebuah monumen seperti disebutkan “buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi”. Teknik ini didasarkan pada lumpur dan panas seperti dalam ayat: “Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat!”
Subhanallah! Ada bukti yang menunjukkan bahwa patung-patung raksasa dan tiang-tiang yang ditemukan dalam peradaban Rumania dan yang lainnya juga dibangun dari tanah liat! Dapat dikatakan: bahwa keajaiban Al Qur'an menunjukkan cara untuk membangun bangunan-bangunan dari tanah liat dan ini yang tidak diketahui pada waktu turunnya Alquran hingga zaman modern saat ini.
Siapa yang memberitahukan kepada Nabi saw tentang berita ini?
Al-Quran adalah kitab pertama yang mengungkapkan rahasia bangunan piramida, bukan para Ilmuwan Amerika dan Perancis. Pertanyaannya adalah:
Kita tahu bahwa Nabi saw tidak pergi ke Mesir dan tidak pernah melihat piramida, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentangnya. Kisah Firaun, terjadi sebelum masa Nabi saw ribuan tahun yang lalu, dan tidak ada satupun di muka bumi ini pada waktu itu yang mengetahui tentang rahasia piramida. Sebelum ini, para ilmuwan tidak yakin bahwa Firaun menggunakan tanah liat dan panas untuk membangun monumen tinggi kecuali beberapa tahun belakangan ini.
Bagaimana Nabi saw sebelum 1400 tahun yang lalu memberitahukan bahwa Firaun menggunakan tanah liat dan panas untuk membangun monumen ...
Ayat ini sangat jelas dan kuat membuktikan bahwa nabi Muhammad saw tidaklah membawa apapun dari padanya tetapi Allah yang menciptakan Firaun dan menenggelamkannya, dan Dia pula yang menyelamatkan nabi Musa ... Dan Dia pula yang memberitahukan kepada Nabi-Nya akan hakikat ilmiah ini, dan ayat ini menjadi saksi kebenaran kenabiannya pada zaman modern ini!!
Subhanallah! Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai akal. mnh/kaheel

Kamis, 10 Maret 2011

SEJARAH URANG BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.

Istilah Tanah Banjar yang dimaksud dalam tulisan ini dibatasi pada daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Disebut Tanah Banjar, karena daerah-daerah dimaksud dahulunya (1526-1905) merupakan bekas wilayah Kerajaan Banjar, dan mayoritas penduduk yang tinggal di sana disebut etnis Banjar, sehingga daerah ini kemudian ditahbiskan sebagai pusat kebudayaan Banjar.
Sejarah kehidupan di Tanah Banjar sudah dimulai setidak-tidaknya sejak 6-10 tahun SM.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil manusia purba ras Austromelanesia berjenis kelamin wanita (40-60 tahun) di Gua Batu Babi, Gunung Batu Buli, Desa Randu, Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, pada tahun 2000 yl.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Balai Arkeologi Banjarbaru (Dr. Harry Widianto dkk) menunjukkan bahwa fosil manusia purba itu berusia sekitar 6-10 ribu tahun (SKH Banjarmasin Post, 4 Februari 2000).
Sejak zaman prasejarah dahulu suku bangsa yang tinggal di Pulau Kalimantan sudah memiliki ciri-ciri yang menunjukkan identitas mereka sebagai suku bangsa ras Melayu (Malayan Mongoloid)(Sulaksono, 2004:2).
Namun, ini bukan berarti suku bangsa ras Melayu (Malayan Mongolid) yang tinggal di Pulau Kalimantan pada zaman prasejarah ini berasal dari komunitas suku bangsa Melayu yang dulu melakukan migrasi dari Pulau Sumatera (1025-1026) atau dari Semenanjung Melayu ke Pulau Kalimantan (1511).
Menurut Maunati (2004:60), suku bangsa yang tinggal di Pulau Kalimantan pada masa prasejarah itu sesungguhnya berasal dari satu tempat yang sama, yaitu : Propinsi Yunan di Republik Rakyat Cina sekarang ini.
Bahasa yang mereka pergunakan sebagai bahasa pergaulan (liungua franca) juga berasal dari bahasa yang bersifat semula jadi yang dipelajari nenek moyang mereka ketika masih tinggal di Yunan dahulu.
Sudah barang tentu bahasa dimaksud sudah dikembangkan di sana-sini sehingga menjadi bahasa yang layak sebagai sarana komunikasi lisan dan tulisan.
Berkaitan dengan kesamaan dalam hal bahasa pergaulan (lingua franca) yang digunakannya, maka suku bangsa yang tinggal di Pulau Sumatera atau di Semenanjung Melayu pada zaman prasejarah diduga juga berasal dari tempat yang sama.
Meskipun nenek moyang suku bangsa yang tinggal di Pulau Kalimantan pada zaman prasejarah dulu sama-sama berasal dari satu yang yang sama. Namun, begitu menetap di pulau Kalimantan mereka menjadi terpecah-pecah, baik karena proses geografi, maupun karena proses demografi yang berlangsung selama lebih dari seribu tahun.
Klaim mereka sebagai penduduk asli pulau Kalimantan didasarkan pada fakta arkeologis bahwa meskipun mereka adalah pendatang yang berasal dari Propinsi Yunan, namun mereka sudah menetap di tempat ini sejak zaman Paleolitik, yakni sejak 13 ribu tahun yang lalu atau bahkan sejak 900 ribu tahun yang lalu.
Ketika suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Sriwijaya (Palembang) melakukan migrasi massal ke Pulau Kalimantan pada tahun 1025-1026, Pulau Kalimantan (setidak-tidaknya daerah Kalsel sekarang ini), sudah menjadi tempat pemukiman yang padat setidak-tidaknya sejak 10 ribu tahun yang lalu (8.000 SM).
Sehubungan dengan itu dapat dipahami jika pengaruh sosial politik dan sosial budaya suku bangsa Melayu yang datang dari Pulau Sumatera itu tidaklah signifikan. Hal ini mengingat situasi sosial politik dan sosial budaya di Pulau Kalimantan ketika itu sudah mapan semapan-mapannya.

KERAJAAN NAN SARUNAI, 242 SM-1362 M
Gua Batu Babi, tempat ditemukannya fosil manusia purba itu terletak tidak jauh dari pusat Kerajaan Nan Sarunai (Kerajaan Tanjung Puri) yang terletak di Kahuripan (nama purba kota Tanjung sekarang ini).
Namun, manusia purba dimaksud bukanlah warga negara Kerajaan Nan Sarunai, karena Kerajaan Hindu ini sendiri baru berdiri pada 242-226 SM.
Ihwal mengenai keberadaan Kerajaan Nan Sarunai ini banyak diceritakan dalam mitologi Maanyan. Konon, wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir, dan Tanah Gerogot sekarang ini.
Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai, tak pelak lagi merupakan petunjuk pertama bahwa Kerajaan Nan Sarunai adalah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini.
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di pinggiran kota Amuntai sekarang ini.
Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura yang terletak tidak jauh dari Kahuripan, yakni di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim.
Menurut salah satu prasasti Yupa yang ditemukan di situs Muara Kaman, Kerajaan Kutai Martapura baru ada pada tahun 400 M.
Kerajaan Kutai Martapura merupakan kerajaan besar yang rakyatnya hidup makmur, terutama sekali pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.
Tahun 400 M, Raja Mulawarman diberitakan telah memberikan hadiah berupa emas dan sapi dalam jumlah begitu banyak kepada para Brahmana.
Di mana di dalam salah satu prasasti Yupa disebutkan jumlah sapi yang dipersembahkan Raja Mulawarman ada sebanyak 20.000 ribu ekor.
Sungguhpun letaknya saling berdekatan, namun Kerajaan Nan Sarunai sama sekali tidak tersentuh oleh kekuasaan Kerajaan Kutai Martapura.
Pada masa-masa kejayaan Kerajaan Nan Sarunai inilah suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Sriwijaya melakukan migrasi massal ke Pulau Kalimantan (1025-1026).
Mereka diterima dengan baik sebagai tamu yang sedang mencari suaka politik. Kerajaan Sriwijaya ketika itu porak poranda akibat diserbu bala tentara Cola Mandala (India).
Bukan tanpa alasan jika suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Sriwijaya itu memilih Kerajaan Nan Sarunai sebagai tempat tujuan migrasinya.
Menurut Babe Kuden dalam tulisannya berjudul Pangeran Samudra Dari Dayak Maanyan? (SKH Banjarmasin Post (Rabu, 21 September 2005, hal 20), Lokasi yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai pada mulanya bernama Lili Kumeah.
Lili Kumeah didirikan oleh Datu Sialing dan Damung Gamiluk Langit. Mereka berdua memimpin sekelompok anggota masyarakat etnis Maanyan mencari tempat pemukiman baru yang lebih menjanjikan sebagai tempat penghidupan.
Konon, semua anggota kelompok masyarakat etnis Maanyan pada mulanya tinggal di satu tempat pemukiman yang sama, yakni Pupur Purumatung. Pupur Purumatung adalah tempat pemukiman terakhir yang didiami bersama oleh nenek moyang etnis Maanyan. Setelah itu, setiap kepala keluarga etnis Maanyan memimpin anggota keluarganya masing-masing mengembara mencari tempat pemukiman baru yang lebih baik.
Masih menurut Babe Kuden, sebelum tinggal di Purumatung, nenek moyang etnis Maanyan tinggal di Margoni, sebuah tempat pemukiman yang selalu diliputi awan (simbol negeri khayangan atau setidak-tidaknya simbol negeri yang berada di atas gunung).
Setelah cukup lama tinggal di Margoni, etnis Maanyan kemudian berturut-turut pindah ke Sinobala, Lalung Kawung, Lalung Nyawung, Sidamatung, Etuh Bariungan, dan terakhir di Pupur Purumatung.
Tujuh tahun setelah tinggal bersama di Pupur Purumatung, sejumlah kepala keluarga nenek moyang etnis Maanyan memutuskan untuk membawa anggota keluarganya masing-masing mengembara mencari tempat pemukiman yang baru. Hanya keluarga Datu Gilangan Langit yang memilih tetap tinggal di Pupur Purumatung.
Lama kelamaan, Lili Kumeah berkembang menjadi tempat pemukiman yang ramai. Pelabuhan Teluk Sarunai menjadi tempat persinggahan yang ramai bagi perahu dagang yang datang dari berbagai penjuru negeri. Selanjutnya, Lili Kumeah semakin berkembang, hingga akhirnya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai yang gilang gemilang.
Pada masa-masa kejayaan Kerajaan Nan Sarunai inilah suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Sriwijaya melakukan migrasi massal ke Pulau Kalimantan (1025-1026). Mereka diterima dengan baik sebagai tamu yang sedang mencari suaka politik. Kerajaan Sriwijaya ketika itu porak poranda akibat diserbu bala tentara Cola Mandala (India).
Bukan tanpa alasan jika suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Sriwijaya itu memilih Kerajaan Nan Sarunai sebagai tempat tujuan migrasinya. Kerajaan Nan Sarunai ketika itu sudah menjadi negara yang kaya raya yang rakyatnya hidup makmur tiada kurang suatu apa. Tempat yang ideal untuk mencari penghidupan baru ketika itu.
Namun, akibat kekayaannya yang melimpah ruah itu pula, maka banyak kerajaan lain yang ada di sekitarnya tergiur untuk menyerbunya dan menjadikannya sebagai negara jajahannya. Pada tahun 1355, Raja Hayam Wuruk memerintahkan Empu Jatmika untuk memimpin armada pasukan perang Kerajaan Majapahit menyerbu ke Kerajaan Nan Sarunai.
Setelah terlibat pertempuran sengit yang banyak menimbulkan korban di ke dua belah pihak, maka pada tahun 1355 itu juga pasukan perang Empu Jatmika berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai dan menjadikannya sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit.
Peristiwa penaklukan Kerajaan Nan Sarunai oleh Empu Jatmika pada tahun 1355 ini banyak diabadikan oleh para seniman lokal dalam tutur wadian gubahan mereka. Para seniman lokal itu meratapinya sebagai peristiwa usak Jawa (penyerangan Kerajaan Jawa) yang sangat memilukan hati. Wadian adalah sejenis puisi ratapan (eligi) yang dilisankan dalam bahasa Maanyan.
Keberadaan wadian berbahasa Maanyan di atas, tak pelak lagi merupakan petunjuk ke dua bahwa Kerajaan Nan Sarunai adalah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini.

KERAJAAN NEGARA DIPA, 1362-1448
Sesuai dengan rencana yang sudah digagas oleh Raja Hayam Wuruk, orang yang bakal menjadi raja di bekas wilayah Kerajaan Nan Sarunai itu adalah putranya Pangeran Surianata.
Tahun 1362, Empu Jatmika mulai mempersiapkan prosesi penjemputan Pangeran Surianata dari Kerajaan Majapahit. Tapi, Empu Jatmika tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tugas penjemputan itu diambil alih oleh anaknya Lambung Mangkurat.
Sejak tahun 1362 ini Pangeran Surianata berkuasa di bekas wilayah Kerajaan Nan Sarunai. Ia menobatkan dirinya sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa. Nama ini berasal dari bahasa Maanyan dipah ten, artinya kerajaan di seberang situ.
Pemakaian kosa-kata bahasa Maanyan dipah ten muntuk menyebut nama Kerajaan Negara Dipa yang didirikan oleh Pangeran Surianata, tak pelak lagi merupakan petunjuk ke tiga bahwa Kerajaan Nan Sarunai adalah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini.
Pangeran Surianata memusatkan pemerintahannya di sekitar kota Amuntai sekarang ini, tepatnya di pertemuan antara sungai Tabalong dengan sungai Balangan, tak jauh dari lokasi berdirinya Candi Agung sekarang ini.
Pasca runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai etnis Maanyan masih mempunyai tokoh pemersatu, yakni Putri Junjung Buih, anak sulung dari raja terakhir Kerajaan Nan Sarunai.
Tidak lama berkuasa, Pangeran Surianata menikahi Putri Junjung Buih Sejak itu, tidak ada lagi konplik politik antara orang Jawa sebagai suku bangsa pendatang versus orang Maanyan (berikut suku bangsa lainnya) sebagai suku bangsa penduduk asli di daerah ini.
Selama keberadaannya, Kerajaan Negara Dipa diperintah oleh 5 orang raja, yaitu : Pangeran Surianata (1362-1385), Pangeran Surya Gangga Wangsa (1385-1421), Raden Carang Lalean (1421-1436), Putri Kalungsu (1436-1448), dan Raden Sari Kaburangan (Raden Sekar Sungsang)(1448).

KERAJAAN NEGARA DAHA, 1448-1526
Setelah dinobatkan sebagai raja baru, Raden Sari Kaburangan memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Muara Hulak (kota Negara sekarang ini). Tidak hanya itu, Raden Sari Kaburangan juga mengganti nama kerajaannya menjadi Kerajaan Negara Daha.
Tampilnya Raden Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha merupakan peristiwa yang menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Maanyan sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama seperti yang berlaku pada masa-masa kejayaan Kerajaan Nan Sarunai dahulu.
Memang, di dalam tubuh Raden Sari Kaburangan mengalir darah Jawa yang diwarisinya dari kakek buyutnya Pangeran Surianata. Namun, darah Jawa itu sudah semakin tawar karena Raden Sari Kaburangan merupakan generasi ke empat (buyut). Ini berarti, secara genetik darah yang mengalir di dalam tubuhnya didominasi oleh darah Maanyan.
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman Kerajaan Negara Daha adalah Candi Laras yang terletak di pinggiran kota Margasari, Tapin. Pengujian C-14 yang dilakukan terhadap tiang bangunan Candi Laras menghasilkan angka tahun dengan kisaran 1240-1426 M (Wasita dkk, 2000:12-13).
Selama keberadaannya, Kerajaan Negara Daha diperintah oleh empat orang raja beragama Budha sebagaimana yang tercermin dari Candi Laras yang merujuk kepada ciri-ciri candi Budha, yaitu : Raden Sari Kaburangan (1448-1486), Maharaja Sukarama (1486-1525), Arya Mangkubumi (1525), dan Pangeran Tumanggung (1525-1526).
Pada masa pemerintahan Maharaja Sukarama, yakni pada tahun 1511, Kerajaan Negara Daha menerima kedatangan suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Melaka yang terpaksa melakukan migrasi massal ke mana-mana menyusul jatuhnya Kerajaan Melaka ke tangan penguasa kolonial Portugis.
Mereka kemudian tinggal menetap di tepi kiri dan kanan Sungai Kuin (sekarang termasuk dalam wilayah kota Banjarmasin) bergabung dengan suku bangsa Melayu di bawah pimpinan Patih Masih yang sudah lama menetap di sana.
Pada tahun (1415) terjadi kemelut politik di Kerajaan Negara Daha. Maharaja Sukarama mengeluarkan sabda pandita ratu yang berisi wasiat agar yang dinobatkan sebagai raja baru sepeninggalnya nanti adalah cucunya Pangeran Samudra, bukan anaknya yang tertua Arya Mangkubumi atau anaknya yang ke dua Pangeran Tumanggung.
Namun, wasiat tinggal wasiat, ketika Maharaja Sukarama mangkat, Arya Mangkubumi segera mengambil alih kekuasaan (1416). Tapi, tidak lama kemudian ia tewas terbunuh di tangan Sa’ban seorang pembunuh bayaran yang setia kepada Pangeran Tumanggung (1519). Setelah membunuh Sa’ban, Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya sebagai raja yang baru (1519).
Pangeran Samudra yang ketika itu masih muda belia segera mengungsi menyelamatkan dirinya ke daerah Muara Kuin, Banjarmasin. Di sini ia ditampung dan dilindungi oleh Patih Masih seorang penguasa setempat. Patih Masih kemudian menobatkan Pangeran Samudra sebagai raja di Muara Kuin (1524) untuk menandingi kekuasaan Pangeran Tumanggung.
Tidak lama kemudian terjadilah perang saudara yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak. Pangeran Samudra kemudian meminta bantuan pasukan perang kepada Sultan Trenggono yang ketika itu berkuasa di Kerajaan Demak. Bantuan diberikan dengan syarat Pangeran Samudra harus memeluk agama Islam jika berhasil mengalahkan Pangeran Tumanggung dalam perang saudara itu.

KERAJAAN BANJAR, 1526-1905
Pangeran Samudra tampil sebagai pemenang. Pada tanggal 25 September 1526 ia resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara Daha (meliputi daerah Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan sebagian daerah di Kalbar sekarang ini).
Sejak itu Kerajaan Negara Daha berganti nama menjadi Kerajaan Banjar. Pangeran Samudra menobatkan dirinya sebagai raja di raja dengan gelar Sultan Suriansyah. Pusat pemerintahannya berada di Banjarmasin.
Kerajaan Banjar merupakan kerajaan pertama yang berideologi Islam di daerah ini. Sebelumnya, kerajaan yang berdiri di daerah ini berideologi Kaharingan (Kerajaan Nan Sarunai), Hindu (Kerajaan Negara Dipa), dan Budha (Kerajaan Negara Daha).
Seiring dengan dijadikannya kota Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Banjar, maka sebagian besar warga negara yang selama ini tinggal di daerah hulu sungai melakukan eksodus besar-besaran ke kota Banjarmasin.
Selama keberadaannya, Kerajaan Banjar diperintah oleh 19 orang raja, yaitu :
1. Sultan Suriansyah (1526-1545),
2. Sultan Rahmatullah (1545-1570),
3. Sultan Hidayatullah (1570-1695),
4. Sultan Mustakimbillah (1595-1620)
5. Sultan Inayatullah (1620-1637),
6. Sultan Saidulllah (1637-1642),
7. Sultan Rakyat Allah (1642-1660),
8. Sultan Amrullah Bagus Kesuma (1660-1663),
9. Sultan Agung (1663-1679),
--. Sultan Amrulllah Bagus Kusuma (1680-1700),
10. Sultan Hamidullah (1700-1734),
11. Sultan Tamjiddullah (1734-1759),
12. Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah (1759-1761)
13. Sultan Tahmidullah (1761-1801),
14. Sultan Sulaiman (1801-1825)
15. Sultan Adam Al Wasyibillah (1825 -1857)
16. Pangeran Tamjidillah (1857-1859)
18. Pangeran Antasari gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1862), dan
19. Sultan Muhammad Seman (1862-1905)
(Usman, 1994:302-304).

IDENTITAS GENETIK, RELIGI,
BAHASA, DAN BUDAYA ETNIS BANJAR
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara genetik etnis Banjar adalah orang Dayak (Balangan, Bakumpai, Barito, Dusun, Halong, Maanyan, Lawangan, Maratus, Ngaju, Ot Danum, Siang, dan suku bangsa lainnya), yang memilih agama Islam sebagai agama anutannya.
Masih berdasarkan paparan di atas, para raja yang berkuasa di Kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha, dan Kerajaan Banjar, semuanya berdarah Maanyan.
Demi memperkokoh identitasnya sebagai kolektif suku bangsa yang baru, maka selain dilekati dengan identitas genetika (orang Dayak) dan identitas religi (penganut agama Islam), orang Banjar juga mulai dilekati dengan 2 identitas lain, yakni identitas bahasa Banjar sebagai bahasa pergaulan (lingua franca), dan identitas budaya sungai.

Identitas Genetik
Identitas religi sebagai penganut agama Islam yang saleh mulai dilekatkan sebagai identitas baru kepada penduduk asli Pulau Kalimantan sejak tahun 1526, yakni sejak Sultan Suriansyah memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Banjar yang berideologi ajaran agama Islam.
Konsekwensi logis akibat ditetapkannya ajaran agama Islam sebagai ideologi negara adalah ditempatkannya agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Banjar.
Politik religius ini sudah barang tentu akan menempatkan warga negara Kerajaan Banjar yang beragama Islam sebagai warga negara kelas satu.
Tertarik dengan ajaran agama Islam yang begitu istimewa berikut status sosial politik yang juga istimewa, maka semakin hari semakin banyak saja warga negara Kerajaan Banjar yang melepaskan keyakinan lamanya untuk kemudian memeluk agam Islam.
Penetapan agama Islam sebagai agama resmi atau ideologi negara di Kerajaan Banjar bukannya tanpa masalah, warga negara Kerajaan Banjar yang beragama Hindu, Budha, Kaharingan, dan penganut agama yang lainnya memilih pindah menjauhi pusat pemerintahan.
Warga negara Kerajaan Banjar yang tidak memeluk agama Islam inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal suku bangsa Balangan, Barito, Dusun, Lawangan, Maratus, Halong, Ngaju, Ot Danum, Siang, dan suku bangsa lainnya.
Pada tahun 1895, Dr. August Kaderland memperkenalkan istilah etnis Dayak untuk menyebut semua kolektif suku bangsa penduduk asli Pulau Kalimantan yang belum memeluk agama Islam (Maunati, 2004:59).
Pasca runtuhnya Kerajaan Banjar pada tahun 1905, istilah orang Banjar tidak lagi dipahami sebagai istilah kesatuan politik (warga negara Kerajaan Banjar), tetapi sudah mengalami pengerucutan sebagai istilah kesatuan suku bangsa (etnis Banjar).

Identitas Religi
Agama merupakan penanda identitas yang bersifat situasional yang dengan sadar dapat dilekatkan pada suatu kolektif suku bangsa tertentu, baik oleh suku bangsa itu sendiri, maupun oleh suku bangsa lainnya.
Pada kasus-kasus tertentu, seseorang atau sekelompok orang yang pindah agama tidak saja berakibat pada terjadinya perubahan dalam hal identitas agamanya, tetapi juga dapat berakibat pada terjadinya perubahan dalam hal identitas suku bangsanya.
Perubahan identitas suku bangsa dimaksud terjadi pada kasus masuk Islamnya suku bangsa Balangan, Barito, Dusun, Lawangan, Maanyan, Maratus, Halong, Ngaju, Ot Danum, dan Siang sejak tahun 1526. Begitu yang bersangkutan pindah keyakinan menjadi pemeluk agama Islam maka identitas suku bangsanya secara praktis akan berubah menjadi orang Banjar.
Daud (1997:5) memaparkan bahwa orang Dayak yang memeluk agama Islam akan dikatakan sebagai telah menjadi orang Banjar. Ini berarti, secara genetik orang Banjar adalah orang Dayak yang memeluk agama Islam.
Menurut Mahin, orang Dayak yang memeluk agama Islam disebut Hakey (Banjarmasin Post, Sabtu 24 Desember 2005:20). Orang Maanyan yang memeluk agama Islam disebut Matanu atau Mangantis.
Kasus semacam ini sudah lama ditemukan dan dipaparkan oleh Saleh dkk (1978), King (1982), Coomans (1987), dan Winzelar (1997).
Saleh dkk (1978:13-15) memaparkan bahwa pada zaman Kerajaan Banjar (1524-1905) dahulu, orang-orang Dayak yang memeluk agama Kaharingan atau memeluk agama Kristen akan tetap menyebut diri mereka sebagai orang Dayak. Sedangkan orang Dayak yang memeluk agama Islam menyebut diri mereka orang Banjar.
Pengecualian terjadi pada suku Bakumpai, Baraki, dan Barangas, yang meskipun sudah memeluk agama Islam dan mempergunakan bahasa Banjar sebagai bahasa pergaulannya, namun mereka tidak disebut orang Banjar, tetapi tetap disebut orang Bakumpa, Baraki, dan Barangas.
King (1982:27 dan 38), sebagaimana yang dikutipkan Maunati (2004 :29) memaparkan bahwa orang Dayak Pagan dan orang Dayak Taman (Dayak Ma-loh) akan dianggap sebagai orang Melayu jika yang bersang-kutan memeluk agama Islam.
Coomans (1987) sebagaimana yang juga dikutipkan oleh Maunati (2004:29) memaparkan bahwa keDayakan orang Dayak di Kaltim dikaitkan dengan agama Kristen, yakni agama yang dalam kasus ini saling dipertentangkan dengan agama Islam sebagai agama yang dominan di Indonesia. Bila seorang Dayak masuk Islam, mereka tidak lagi dianggap sebagai orang Dayak, tetapi justru menjadi orang Melayu.
Proses pergeseran identitas etnisitas semacam ini juga ditemukan faktanya oleh Winzeler (1997:219). Dengan nada serupa Winzeler menengarai orang Dayak Bidayuh yang menjadi muslim tidak lagi diakui oleh suku bangsanya sebagai orang Dayak Bidayuh. Memang, pada tempat-tempat tertentu di Pulau Kalimantan, orang Dayak tidak dengan sendirinya berbeda jauh dari kelompok-kelompok suku bangsa di sekitarnya.
Sehubungan dengan kasus-kasus semacam itu Maunati (2004:39) berpendapat sangatlah problematis jika harus menunjukan batasan yang saling membedakan antara orang Dayak di satu pihak dengan orang Melayu di pihak lain.
Mengutip Said (1993:xxix), Maunati (2004:30) memaparkan bahwa kebertumpang-tindihan budaya semacam ini barangkali sudah menjadi aturan ketimbang perkecualian.
Faktor kesamaan wilayah dapat membuat semua kebudayaan menjadi saling terkait, tidak ada yang tunggal dan murni, semuanya hybrid, heterogen, tidak monolitik, dan tidak ada yang luar biasa.
Kelompok Dayak yang menggunakan bahasa Banjar, beragama Islam dan saling bercampur darah karena kawin mawin dengan suku Melayu dan Jawa, lambat laun akan berubah identitas etnisnya menjadi orang Banjar.

Identitas Bahasa
Menurut hasil penelitian Wurm dan Willson (1975), hubungan kekerabatan (kognat) antara bahasa Banjar dengan bahasa Melayu menyentuh angka 85 persen (Jarkasi, 2002:13).
Tapi, ini bukan berarti bahasa Melayu yang mempengaruhi bahasa Banjar, sebaliknya bahasa Banjar yang justru mempengaruhi bahasa Melayu. Banyak di antara kosa-kata bahasa Melayu itu yang berasal atau berakar dari bahasa Banjar. Bukan sebaliknya.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa suku bangsa Melayu tidak pernah mendominasi kehidupan sosial politik dan sosial budaya di wilayah tempat tinggal purba etnis Banjar (di zaman Kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha, dan Kerajaan Banjar).
Ketika suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Sriwijaya melakukan migrasi pada tahun 1025-1026, Kerajaan Nan Sarunai sudah menjadi negara yang mapan secara sosial politik dan sosial budaya.
Begitu pula halnya yang terjadi ketika suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Melaka melakukan migrasi pada tahun 1511, Kerajaan Negara Daha sudah menjadi negara yang mapan secara sosial politik dan sosial budaya.
Sehingga bagaimana mungkin suku bangsa Melayu sebagai suku bangsa pendatang yang jumlahnya tidak begitu signifikan dapat melakukan penetrasi sosial budaya yang begitu telak ke jantung peradaban warga negara Kerajaan Nan Sarunai (1025-1026) atau Kerajaan Negara Daha (1511).
Bahasa yang mereka pergunakan sebagai bahasa pergaulan (liungua franca) juga berasal dari bahasa yang bersifat semula jadi yang diwarisi oleh nenek moyang mereka ketika masih tinggal di Yunan dahulu.
Teori lain yang juga relevan adalah teori Blust (1988), dan Adelaar (1992). Keduanya menolak hipotesis bahwa asal-usul orang Melayu adalah di Semenanjung Melayu (Malaysia dan Kepulauan Riau).
Merujuk pada keyakinan Blust dan Adelaar, maka itu berarti bahasa Melayu purba juga tidak berasal dari Semenanjung Melayu sebagaimana yang dulu pernah diyakini oleh para ahli bahasa.
Melalui pendekatan keaneka-ragaman bahasa tertinggi (maximun diversity), Collins (1975), dan Notherper (1996) berpendapat bahwa asal-usul bahasa Melayu adalah di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kalbar (Budhie, 2003:18, dan Mawardi, 2003:13).
Bahasa Melayu purba merupakan bahasa yang terbentuk dari hasil kompilasi bahasa-bahasa yang ada di Pulau Kalimantan, seperti bahasa Banjar, Berau, Iban, Sambas, Sarawak, Ketapang, dan Kutai.
Selain berkognat dengan bahasa Melayu, bahasa Banjar juga berkognat dengan sejumlah bahasa lain di Kalsel dan Kalteng. Menurut Zaini HD (2000:4), bahasa Banjar berkognat dengan bahasa Maanyan (32 %), dan dengan bahasa Ngaju (39 %).
Fakta ini semakin mengukuhkan premis atau hipotesis bahwa etnis Banjar di Kalsel sesungguhnya memiliki hubungan kekerabatan secara sosial genetika dan sosial budaya dengan suku bangsa Dayak Maanyan, Dayak Ngaju, dan lebih-lebih lagi dengan Dayak Meratus.
Menurut Daud (1997:25), bahasa Dayak Bukit (saudara kita ini lebih senang disapa Dayak Maratus, pen) tidak lain adalah bahasa Banjar yang agak kuno.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hammer (dalam Cense dan Uhlenback, 1958:59), Adul (1975), Ismail, dkk. (1979), dan Radam (2001:103-104).
Hammer (dalam Cense dan Uhlenback, 1958:59) merupakan peneliti pertama yang mengembangkan te-ori bahwa bahasa Bukit merupakan salah satu subdialek Bahasa Banjar Hulu.
Adul (1975) berpendapat bahwa bahasa Bukit lebih dekat hubungannya dengan Bahasa Banjar Hulu sehingga dapat saja disebut atau dianggap sebagai Bahasa Banjar purba (arkais).
Ismail, dkk. (1979:7-12) juga berkesimpulan bahwa kosa kata, tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat bahasa Bukit lebih dekat dengan Bahasa Banjar Hulu.
Selanjutnya, Radam (2001:103-104) semakin memperkokoh teori bahwa bahasa Bukit dan bahasa Banjar Hulu merupakan dua bahasa yang berasal dari satu rumpun yang sama.
Berdasarkan argumen yang dipaparkan Daud (1997 :25), maka fakta keserumpunan bahasa ini juga dapat dijadikan sebagai bukti pendukung bahwa orang Banjar sesungguhnya saling berkerabat secara genetika dan budaya dengan orang Dayak pada umumnya, setidak-tidaknya dengan orang Dayak Maratus.
Asal-usul nenek-moyang orang Banjar sama dengan etnis Dayak pada umumnya, yakni ras Melayu Malayan Mongoloid yang berasal dari Propinsi Yunan di Republik Rakyat Cina sekarang ini. Bukan ras Melayu yang berasal dari Semenanjung Melayu, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan.
Selain itu, dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Maratus juga ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Maratus.
Dalam cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Maratus yang bernama Sandayuhan.
Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan jago berkelahi.
Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Maratus.
Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul dari aksi heroik Sandayuhan.
Salah satu di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang sangat menentukan (Tsing, 1998:78-79 dan 405).

Identitas Budaya Sungai
Secara budaya, Idwar Saleh dkk (1978:2) dan Atmojo (dalam Kasnowihardjo, 2004:26) melekatkan identitas sebagai suku bangsa dengan kebudayaan berbasis sungai kepada etnis Banjar di Kalsel.
Menurut Saleh dkk (1978:13), suku bangsa Banjar di Kalsel adalah hasil pembauran yang unik dari sejarah sungai-sungai Bahau, Barito, Martapura, dan Tabunio. Masih menurut Saleh dkk (1978:8), seluruh kehidupan manusia di daerah Kalsel, terutama suku Banjar, hampir 80%, sampai ke udik ditandai oleh suatu budaya yang khas, yang disebut kebudayaan sungai.
Atmojo (2004:25-26, dalam Kasnowihardjo dkk), memaparkan bahwa sejak zaman purba hingga sampai saat ini sungai-sungai di Kalsel berfungsi sebagai tempat konsentrasi pemukiman penduduk dan menjadi prasarana lalu lintas yang menghubungkan daerah muara dengan pedalaman.
Bagi etnis Banjar di Kalsel sungai adalah jantung kehidupan, karena kehidupan mereka sangat dekat dengan sungai. Antara masyarakat dengan sungainya saling berinteraksi, beradaptasi, dan saling isi mengisi. Bermula dari fakta inilah maka etnis Banjar di Kalsel dikenal luas sebagai suku bangsa yang identik dengan budaya sungai.
Menurut Saleh dkk (1978:8-9), kampung, bandar, dan keraton yang menjadi tempat konsentrasi pemukiman di Kalsel memang selalu di bangun di muara sungai atau di persimpangan sungai.
Selain menghasilkan air untuk minum, mandi, dan mengairi sawah pasang surut, sungai juga menjadi tempat yang ideal untuk ikan berkembang biak.
Kampung-kampung di Kalsel dibuat dengan cara memanjang di sepanjang sungai, ada rumah yang dibangun di atas rakit dan ada pula rumah yang dibangun di atas tebing.
Pada masa-masa yang telah lalu, di daerah-daerah seperti itulah penduduk di daerah setempat dan para pendatang dari luar daerah membangun pusat-pusat pemerintahan.
Kriteria tempat tinggal ideal bagi suku bangsa yang mengakrabi budaya sungai ketika itu adalah tempat yang berdekatan dengan teluk yang dalam dan berair tenang atau tempat berdekatan dengan sungai besar berair dalam.
Tapi, teluk atau sungai dimaksud harus terletak di daerah pedalaman, dalam hal ini daerah pedalaman yang mampu memasok air tawar, bahan makanan, dan komoditi perdagangan yang sangat dibutuhkan konsumen di luar negeri, seperti : damar, emas, intan, karet, kayu gaharu, kayu gelondongan, lada, madu, pangan, papan, rotan, sarang burung walet dan lain-lain.
Hubungan perdagangan dengan luar negeri inilah yang menjadi faktor utama tumbuh pesatnya kota-kota pedalaman di tepi sungai dan teluk dimaksud.


KONSTRUKSI IDENTITAS
KOLEKTIF ETNIS BANJAR
Menurut Ericksen (1993), identitas suatu suku bangsa dapat saja dibangun ulang sesuai dengan situasi yang relevan.
Konstruksi identitas agama yang terbentuk sebagai akibat dari terjadinya perpindahan agama dalam kasus orang Dayak memeluk agama Islam (Hakey) membuka peluang bagi terbentuknya konstruksi identitas orang Banjar yang lebih kontekstual.
Berdasarkan paparan menyangkut identitas genetika, religi, bahasa, dan budaya di atas, maka identitas kontekstual etnis Banjar dapat dikonstruksikan dengan gambaran sebagai berikut.
(1) Etnis Banjar merupakan suku bangsa asli pulau Kalimantan,
(2) Etnis Banjar merupakan suku bangsa yang memiliki profil fisik yang khas identitas ras Melayu asal Propinsi Yunan (Malayan Mongoloid),
(3) Etnis Banjar merupakan suku bangsa yang memiliki identitas genetika sebagai suku bangsa berdarah Dayak
(4) Etnis Banjar merupakan suku bangsa yang memiliki identitas agama sebagai penganut agama Islam.
(5) Etnis Banjar merupakan suku bangsa yang memiliki identitas budaya sebagai pemakai bahasa Banjar dalam kehidupan kesehariannya (lingua franca),
(6) Etnis Banjar adalah suku bangsa yang memiliki identitas budaya sebagai pengusung budaya sungai.

POPULASI ORANG BANJAR
Menurut sensus yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2000, jumlah populasi orang Banjar di Kalsel ada sebanyak 2.271.586 jiwa (Wikipedia Indonesia).
Masih menurut sumber data yang sama orang Banjar juga ditemukan keberadaannnya dalam jumlah yang signifikan di Kalbar (24.117), Kalteng (435.758), dan Kaltim (340.381).
Jumlah orang Banjar di Pulau Jawa, di DKI Jakarta (7.977), dan Jabar (5.923). Sayang sekali data-data populasi orang Banjar di Bali, Banten, DI Yogyakarta, Jatim, Jateng, NTB, dan NTT tidak dicantumkan dalam sumber di atas. Padahal, jumlah populasi orang Banjar di daerah-daerah tersebut pastilah banyak sekali.
Jumlah orang Banjar di Pulau Sumatera, Jambi (83.458), Nangroe Aceh Darussalam (1.726), Riau (179.380), Sumut (111.886), dan Sumsel (921). Sayang sekali data-data populasi orang Banjar di Bengkulu, Lampung, dan Sumbar tidak dicantumkan dalam sumber di atas. Padahal, jumlah populasi orang Banjar di daerah-daerah tersebut pastilah banyak sekali.
Keberadaan orang Banjar di daerah-daerah di luar Kalsel sebagaimana yang ditunjukkan oleh data-data BPS tersebut di atas merupakan bukti bahwa orang Banjar termasuk suku bangsa yang suka merantau (bahasa Banjar, madam).
Orang Banjar tidak hanya merantau di kawasan NKRI saja, tetapi juga ke luar negeri. Hanya saja datanya belum ada. Khusus populasi orang Banjar di Malaysia, menurut versi situs Joshua Project jumlahnya tidak kurang dari 519.000 orang.
Keberadaan orang di luar wilayah domestiknya (Kalsel) tidak hanya pada masa-masa sekarang ini, tetapi sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dahulu.
Pada tahun 1930, pemerintah kolonial Belanda melakukan Volkstelling, hasilnya adalah data berikut ini. Jumlah orang Banjar di Pulau Sumatera (77.836 orang), Pulau Sulawesi (2.319 orang), Nusa Tenggara (151 orang), dan di Malaysia Barat (20.339).
Sesungguhnya, jauh sebelum tahun 1930, orang Banjar sudah banyak yang pergi merantau ke luar daerah bahkan ke luar negeri.
Fakta sejarah menunjukkan, di antara etnis Banjar yang tinggal di pulau Sumatera dan Semenanjung Melayu, ada yang merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar pada tahun 1780, 1862, dan 1905.
Pada tahun 1780, terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kerajaan Banjar, yakni raja usurpatur Pangeran Tahmidullah.
Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kerajaan Banjar karena sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi hukuman mati, sehingga darah mereka sudah dihalalkan untuk ditumpahkan.
Pada tahun 1862, terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali ini adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar.
Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi mereka sudah terdesak sedemikian rupa.
Pasukan Residen Belanda yang menjadi mus-uh mereka dalam Perang Banjar sudah berhasil menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.
Pangeran Antasari sendiri sudah memindahkan pusat perlawanannya ke daerah Muara Teweh, Kalteng.
Pada tahun 1905, etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke Pulau Sumatera.Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan pasukan militer Belanda.
Sepeninggal Sultan Muhammad Seman, maka praktis mereka akan hidup sebagai warga negara tanpa kelas dari suatu negara yang dijajah Belanda.

BAHAN BACAAN
Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Cetakan I
Ganie, Tajuddin Noor. 1991:4, Migrasi Orang Banjar ke Sumatera. dalam SKH Surya Surabaya, 18 Maret 1991.
Ismail, Abdurahman dkk. 1997. Bahasa Bukit. Jakarta : Pusat Bahasa. Cetakan I
Kasnowihardjo dkk, H. Gunadi. 2004. Sungai dan Kehidupan Masyarakat di Kalimantan. Banjarbaru : Penerbit Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Kalimantan Selatan. Cetakan I.
Kuden, Babe. 2005. Pangeran Samudra Dari Dayak Maanyan? SKH Banjarmasin Post, Rabu, 21 September 2005, hal 20
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit LKiS. Cetakan I.
Radam, Noer’ied Haloi. 1994. Religi Orang Bukit. Yogyakarta : Penerbit Semesta. Cetakan I.
Saleh, M. Idwar. 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta : Penerbit Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Cetakan I
Tsing, Anna Lowenhaupt. 1998. Di bawah Bayang-bayang Ratu Intan : Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat Terasing. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor. Cetakan I.
Usman, Gazali. 1994. Kerajaan Banjar : Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan, dan Agama Islam. Banjarmasin : Penerbit Lambung Mangkurat University Press. Cetakan I.

Selasa, 19 Oktober 2010

Haman sebagaimana Disebutkan dalam Alquran

Oleh Abduldaem Al-Kaheel

Segala puji bagi Allah yang berfirman di dalam Al-Qur’an:

“Dan berkata Firaun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". (QS Al-Qashash [28]: 38)

Firaun yang disebutkan dalam ayat ini berbicara dengan para bangsawan bangsanya bahwa ia tidak mengenal tuhan untuk mereka kecuali dirinya sendiri. Firaun memanggil Haman untuk memintanya membangunkan untuknya dari tanah yang dibakar, atau batu bata, bangunan yang sangat tinggi supaya ia bisa melihat Tuhannya Musa.

Ayat ini menunjuk kepada banyak mujizat seperti:

1. Firaun memosisikan dirinya sebagai tuhan: seperti dalam perkataannya, “aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” Riset arkeologi menemukan peradaban Mesir kuno yang memastikan bahwa Firaun sejak dinasti keempat mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Dewa Raa, dewa matahari yang disembah oleh orang Mesir kuno. Tidak hanya itu, nama Raa berada di antara para keluarga fir'aun, seperti Raa Nip, yang berarti dewa emas. Kata ilmuwan arkeologi, yang bukti paling jelas bahwa Firaun menganggap diri mereka sebagai tuhan adalah adanya lagu untuk matahari yang telah diabadikan dalam teks-teks di dalam piramida, yang mengidentifikasi Firaun sebagai dewa matahari. Lagu ini berbicara ke rakyat Mesir, termasuk daftar panjang yang menakjubkan tentang manfaat yang dapat dinikmati rakyat Mesir di bawah perlindungan dan penguasa dewa matahari, seperti yang diberikan Firaun kepada rakyat Mesir. Ia harus menerima hadiah yang sama dari rakyat Mesir. Itu sebabnya seluruh lagu diulang lagi dengan menempatkan nama firaun meskipun yang tercatat dalam lagu asli adalah nama “Raa atau Horase”.

2. Keajaiban kedua adalah penggunaan batu bata oleh Fir'aun dalam membangun menara: Firaun meminta Haman untuk membangun istana yang tinggi atau menara dari tanah liat bakar yang merupakan batu bata. Hal ini dianggap sebagai mukjizat sejarah Alquran, karena telah menjadi pemikiran umum bahwa batu bata menurut para sejarahwan tidak muncul di Mesir kuno, kecuali setelah era Roma, dan ini menurut pendapat membuat para sejarahwan bertentangan dengan ayat yang menyatakan permintaan Firaun kepada Haman bahwa dia harus membangun sebuah istana yang tinggi dari tanah liat bakar atau batu bata. Pendapat para sejarahwan itu terus bertahan hingga Patry, seorang ilmuwan arkeologi menemukan sejumlah batu bata yang digunakan dalam membangun entombment dan juga digunakan dalam membangun beberapa bangunan dasar yang merujuk kepada masa Rammsis II , Mrinbtah dan Sity II dari dinasti keluarga kesembilan belas (1308-1184 SM). Dan ia menemukan batu bata itu dalam sebuah situs arkeologi yang tidak jauh dari Be Rammsis atau Kantir, Ibukota Fir'aun di timur Delta.

3. Mukjizat ketiga menunjuk ke salah satu asisten Firaun dengan namanya Haman. Profesor Morris Bokay menyatakan sebagai berikut, “Al-Qur’an menyebutkan seseorang bernama Haman yang merupakan salah satu pembantu Firaun. Firaun memintanya untuk membangun bangunan yang tinggi atau sebuah istana tinggi memungkinkan Firaun—ketika ia berkata dengan sinis kepada Musa—untuk mencapai Allah dan melihat-Nya. Dan saya ingin tahu apakah nama itu tidak terhubung ke sebuah nama hiroglif, sehingga ia dapat disimpan sebagai salah satu dokumen era tersebut, sehingga kemudian “Nakhara” yang berarti “menulis surat suatu bahasa dalam surat bahasa lain” akan terjadi. Dan saya tidak akan puas dengan jawaban kecuali yang datang dari seorang ahli dalam bahasa hieroglif dan juga mengetahui bahasa Arab secara baik.

Jadi saya bertanya kepada seorang ilmuwan di bidang Egyptologue dari perancis tentang kedua hal tersebut. Saya menulis nama Haman, tapi saya tidak mengatakan apa-apa kepadanya tentang realitas teks yang bersangkutan. Saya hanya mengatakan kepadanya bahwa kata ini terkait dengan abad ketujuh sebelum masehi. Jawabannya yang pertama adalah bahwa nama asli itu tidak mungkin karena tidak mungkin untuk menemukan teks yang mencakup nama nama seorang pria terkemuka dalam bahasa hieroglif dan juga memiliki sajak hiroglif yang terkait dengan abad ketujuh sebelum masehi.

Nama ini tidak dikenal sampai sekarang. Itu karena bahasa hieroglif telah lama dilupakan. Di sisi lain, ia menyarankan saya untuk memeriksa kamus nama-nama pribadi kerajaan baru dan untuk mencari nama ini, dengan memberi isyarat kepada saya tentang bahasa hieroglifnya jika benar-benar ditemukan. Dan ketika saya mencari, saya menemukan tertulis dalam kamus ini persis seperti yang saya harapkan. Sungguh suatu kejutan!

Saya tidak hanya menemukan namanya, tetapi juga menemukan pekerjaannya, seperti yang ditulis dalam bahasa Jerman “kepala pekerja galian”. Tetapi tanpa tanda apapun tentang masanya, kecuali teks yang berkaitan dengan kerajaan yang berdiri di zaman Nabi Musa, dan pekerjaan yang ditulis menunjukkan bahwa ia bertanggungjawab di bidang konstruksi. Jadi, apa pendapat kita tentang perbandingan antara perintah Firaun kepada Haman sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an, dengan apa yang tertulis dalam buku ini.”

Mahabenar Allah dalam firman-Nya: “Dan berkata Firaun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” (QS Al-Qashash [28]: 38)

Jumat, 08 Oktober 2010

Pegunungan adalah Pasak dari Segi Bentuk dan Fungsi

Oleh Dr. Mohamad Daudah

وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

Allah berfirman, “Dan gunung-gunung sebagai pasak.” (QS An-Naba’ [78]: 7).

Pada zaman dulu, gunung hanya dikenal sebagai blok batu menonjol dari bumi. Definisi ini dianggap berlaku sampai 1835, ketika Pierre Bouguer menunjukkan bahwa gaya gravitasi yang tercatat di pegunungan Andes adalah jauh kurang dari apa yang seharusnya untuk blok batu besar semacam itu. Konon, baginya, blok besar dari jenis yang sama harus terbenam jauh di dalam bumi. Atas dasar itu, kelainan gravitasi tersebut harus ditafsirkan.

Pada pertengahan abad ke-19, George Everest menaruh perhatian yang besar pada kelainan hasil pengukuran gravitasi dari Pegunungan Himalaya di dua tempat yang berbeda. Namun Everest gagal untuk menafsirkan fenomena ini dan ia menyebutnya sebagai Misteri india. Namun, George Airy pada tahun 1865 menyatakan bahwa semua rantai pegunungan di bumi merupakan blok yang mengapung di atas lautan magma (yaitu bahan batuan cair di bawah kerak bumi) dan bahwa semua bahan cair tersebut sebenarnya lebih tebal daripada gunung-gunung itu sendiri. Akibatnya, gunung-gunung harus menyelam ke bahan kepadatan tinggi ini untuk menjaga keseimbangannya.

Ahli geologi menemukan fakta bahwa kerak bumi terdiri dari lempengan-lempengan yang berdekatan di sebut benua, dan pegunungan yang besar terapung di lautan bahan cair dan batuan padat di bawah permukaan. Mereka juga menemukan bahwa gunung memiliki akar yang membantu mereka mengambang dan terus diikat dengan pelat bumi sehingga tidak akan bergetar. Pada 1948, geologist Van Anglin menyatakan dalam bukunya Geomorfologi (di halaman no. 27) bahwa saat ini telah diketahui dengan cukup baik bahwa ada suatu akar untuk setiap gunung di bawah kerak bumi.

Fungsi gunung di bumi adalah untuk mengikat kerak bumi. Fakta ini dibuktikan oleh prinsip keseimbangan hidrostatik bumi sebagaimana digambarkan oleh Dutton, geologist Amerika Serikat, pada tahun 1889. Dia menyatakan bahwa tonjolan bumi terbenam ke dalam bumi dengan cara yang sesuai dengan ketinggian mereka. Apalagi, setelah adanya lempeng bumi itu terbukti pada tahun 1969, menjadi jelas bahwa gunung-gunung berperan untuk menjaga keseimbangan semua lempengan.

Mukjizat Ilmiah

Manusia tidak tahu fakta tentang gunung-gunung yang hanya baru-baru ini akan tersedia di pertengahan abad ke-19. Sementara itu, Alquran dalam ayat ini menegaskan secara otoritatif bahwa gunung-gunung seperti pasak dalam hal bentuk dan fungsi mereka.

Baru-baru ini, kiasan yang akurat dari ayat ini terbukti benar. Gunung memiliki dua bagian: satu di permukaan dan yang lain di bawah tanah yang berfungsi untuk mengikat apa yang terikat dengannya. Demikian pula, sebuah gunung yang memiliki dua bagian: satu menonjol pada kerak bumi dan yang lain terbenam di bawah tanah, dengan cara yang sesuai dengan ketinggian. Fungsinya adalah untuk mengikat pelat kerak bumi dan mencegah mereka dari goncangan karena lapisan cair di bawahnya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Al Qur'an adalah firman Allah Pencipta gunung-gunung dan seluruh alam semesta.

Allah berfirman: “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”? (Al-Mulk: 14)

www.eramuslim.com

Selasa, 28 September 2010

Hafalan Alquran Dapat Mencegah Berbagai Penyakit

Oleh Abduldaem Al-Kaheel


Sebuah kajian baru membuktikan bahwa semakin banyak hafalan seseorang terhadap Al-Qur’an Al-Karim, maka semakin baik pula kesehatan. Dr. Shalih bin Ibrahim Ash-Shani’, guru besar psikologi di Universitas Al-Imam bin Saud Al-Islamiyyah, Riyadh, meneliti dua kelompok responden, yaitu mahasiswa/i Universitas King Abdul Abdul Aziz yang jumlahnya 170 responden, dan kelompok mahasis Al-Imam Asy-Syathibi yang juga berjumlah 170 responden.

Peneliti mendefinisikan kesehatan psikologis sebagai kondisi dimana terjadi keselarasan psikis individu dari tiga faktor utama: agama, spiritual, sosiologis, dan jasmani. Untuk mengukurnya, peneliti menggunakan parameter kesehatan psikis –nya Sulaiman Duwairiat, yang terdiri dari 60 unit.

Penelitian ini menemukan adanya korelasi positif antara peningkatan kadar hafalan dengan tingkat kesehatan psikis, dan mahasiswa yang unggul di bidang hafalan Al-Qur’an itu memiliki tingkat kesehatan psikis dengan perbedaan yang sangat jelas.

Ada lebih dari tujuh puluh kajian, baik Islam atau asing, yang seluruhnya menegaskan urgensi agama dalam meningkatkan kesehatan psikis seseorang, kematangan dan ketenangannya. Sebagaimana berbagai penelitian di Arab Saudi sampai pada hasil yang menegaskan peran Al-Qur’an Al-Karim dalam meningkatkan ketrampilan dasar siswa-siswa sekolah dasar, dan pengaruh yang positif dari hafalan Al-Qur’an untuk mencapai IP yang tinggi bagi mahasiswa.

Kajian tersebut memberi gambaran yang jelas tentang hubungan antara keberagamaan dengan berbagai bentuknya, terutama menghafal Al-Qur’an Al-Karim, dan pengaruh-pengaruhnya terhadap kesehatan psikisi individu dan kepribadiannya, dibanding dengan individu-individu yang tidak disiplin dengan ajaran-ajaran agama, atau tidak menghafal Al-Qur’an, sedikit atau seluruhnya.

Komentar terhadap Kajian:

Setiap orang yang menghafal sebagian dari Al-Qur’an dan mendengar bacaan Al-Qur’an secara kontinu itu pasti merasakan perubahan yang besar dalam hidupnya. Hafalan Al-Qur’an juga berpengaruh pada kesehatan fisiknya. Melalui pengalaman dan pengamatan, dipastikan bahwa hafalan Al-Qur’an itu dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada seseorang, dan membantunya terjaga dari berbagai penyakit.

Berikut ini adalah manfaat-manfaat hafalan Al-Qur’an, seperti yang penulis dan orang lain rasakan:

1. Pikiran yang jernih.
2. Kekuatan memori.
3. Ketenangan dan stabilitas psikologis.
4. Senang dan bahagia.
5. Terbebas dari takut, sedih dan cemas.
6. Mampu berbicara di depan publik.
7. Mampu membangun hubungan sosial yang lebih baik dan memperoleh kepercayaan dari orang lain.
8. Terbebas dari penyakit akut.
9. Dapat meningkatkan IQ.
10. Memiliki kekuatan dan ketenangan psikilogis.

Karena itu Allah berfirman, “Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang lalim.” (QS Al-‘Ankabut [29]: 49)

Ini adalah sebagian dari manfaat keduniaan. Ada manfaat-manfaat yang jauh lebih besar di akhirat, yaitu kebahagiaan saat berjumpa dengan Allah, memperoleh ridha dan nikmat yang abadi, mendapatkan tempat di dekat kekasih mulia Muhammad Saw.

www.eramuslim.com

Kamis, 23 September 2010

Manfaat-manfaat Menghafal Al-Qur'an

Oleh Abduldaem Al-Kaheel

Berbagai kajian kontemporer membuktikan bahwa hafalan Al-Qur’an dapat menjaga seseorang dari berbagai penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, serta meningkatkan kreatifitas dan relaksasi.

Amal terbaik yang bisa dikerjakan seseorang adalah membaca Al-Qur’an, mengamalkan kandungannya, menerapkan perintah Allah, dan menjauhi larangan Allah. Selama pengalaman interaksi dengan Al-Qur’an dalam kurun waktu lebih dari dua puluh tahun, saya menemukan sebuah kepastian bahwa Al-Qur’an memiliki pengaruh yang besar terhadap kepribadian manusia.

Ketika Anda membaca sebuah bukti tentang Neuro Linguistic Programming, atau tentang seni manajemen waktu, atau seni bergaul, maka penulisnya akan mengatakan: membaca buku ini dapat mengubah hidup Anda. Artinya, kitab apapun yang dibaca seseorang itu akan memengaruhi perilaku dan kepribadiannya, karena kepribadian meurpakan hasil dari wawasan dan pengalaman seser, serta apa yang dibaca, dilihat dan didengarnya.

Sudah barang tentu buku-buku karangan manusia ini pengaruhnya terbatas. Tetapi, ketika berbicara tentang Kitab Allah yang menciptakan manusia, dimana Dia lebih mengetahui apa yang ada dalam diri manusia dan apa yang menjadikannya lebi hbaik, maka sudah barang tentu kita menemukan dalam kitab ini informasi-informasi yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Karena Al-Qur’an adalah cahaya, obat dan petunjuk. Di dalam kita temukan masa lalu dan masa mendatang. Allah berfirman, “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS Fushshilat [41]: 42).

Dapat saya tegaskan bahwa setiap ayat yang Anda baca, renungkan dan hafal itu dapat menciptakan perubahan dalam hidup Anda! Bagaimana dengan orang yang membaca dan menghafal seluruh Al-Qur’an? Tidak diragukan bahwa bacaan Al-Qur’an, perenungan, dan penyimakan dengan khusyuk itu dapat merekonstruksi kepribadian seseorang, karena Al-Qur’an mengandung berbagai prinsip dan dasar-dasar yang solid bagi caracter building.

Saya akan menyampaikan pengalaman sederhana tentang sejauh mana pengaruh Al-Qur’an terhadap kepribadian seseorang, bahkan satu ayat saja! Saya pernah membaca firman Allah: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 216) Dalam hati saya berkata, ayat ini pasti mengandung sebuah hukum pasti yang memberi kebahagiaan bagi orang yang mengimplemensikannya dalam hidup.

Sebelum membaca ayat ini, saya sedang merasa sedih karena mengalami suatu musibah, atau merasakan ketakutan terhadap masa depan, karena saya sedang mencemaskan suatu hal.

Setelah merenungkan ayat ini dalam waktu yang cukup lama, saya menyadari bahwa Allah telah menadirkan segala sesuatu, dan Dia tidak akan memilihkan untukku selain yang terbaik bagiku, karena Dia mengetahui masa depan, sedangkan saya tidak. Demikianlah, akhirnya saya memandang segala sesuatu dengan optimis, meskipun secara lahir menyedihkan. Saya selalu mengharapkan terjadinya hal baik, meskipun menurut perhitungan tidak demikian.

Allah telah menetapkan setiap hal yang akan terjadi padaku sejak usiaku 42 hari dalam kandungan. Lalu, untuk apa aku bersedih. Selama Allah mendengar dan mengatur alam semesta ini, untuk apa takut dan cemas? Karena Allah yang menakdirkan dan memilihkannya untukku, maka itu pasti baik, bermanfaat, dan memberi kebahagiaan.

Demikianlah, kepribadian saya berubah dari akarnya menjadi pribadi yang optimis dan bahagia, dan terbebas dari banyak masalah yang mungkin saja terjadi seandainya Allah tidak memberiku kesempatan untuk merenungkan ayat ini, memahami, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesimpulannya, berpegang teguh pada Al-Qur’an dan menjaga tilawahna itu dapat berpengaruh positif terhadap kepribadian seseorang, meninggalkan sistem kekebalan dalam dirinya, melindunginya dari berbagai penyakit psikologis, membantunya untuk sukses dan mengambil keputusan-keputusan yang sulit. Jadi, Al-Qur’an adalah jalan Anda untuk menjadi kreatif, memimpin, bahagia dan sukses!

www.eramuslim.com

Misteri Marah: Antara Sains dan Quran

Oleh Dr. Mohamad Daudah

Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad Saw. meminta nasihat dan Nabi berpaling kepadanya, lalu beliau bersabda dengan berulang-ulang: "Jangan pernah marah!" (HR Bukhari)

Hal ini kemudian diperjelas oleh penelitian ilmiah yang menekankan bahwa kemarahan, secara psikologis dan rangsangan neorotik, tidak memiliki pengaruh yang lebih besar daripada berlari dalam hal meningkatkan denyut jantung dan memompa lebih banyak darah dan lebih cepat. Namun, marah tidak seperti berlari, pelari bisa berhenti jika dia mau, sedangkan marah tidak dapat dikuasai dengan mudah, terutama jika orang tersebut tidak terbiasa. Kemudian apa yang bisa terjadi?

Secara klinis terbukti bahwa orang-orang yang melampiaskan kemarahan dapat dengan mudah menderita hipertensi dan arteriosklerosis karena tekanan darah menjadi terlalu tinggi, sedangkan pembuluh darah kehilangan kemampuan untuk memperluas diri untuk menampung tambahan darah yang terpompa. Selain itu ada juga dampak psikologis dan sosial yang dapat merusak hubungan manusia.

Namun, layak diperhatikan bahwa yang menjadi pemikiran utama sejak lama adalah bahwa menahan marah juga menjadi pemicu banyak penyakit. Sebuah studi di Amerika menjelaskan bahwa marah dan menahwan marah memiliki bahaya kesehatan yang sama, meskipun berbeda tingkat keparahannya.

Jika kita menahan amarah, tidak akan ragu untuk menderita hipertensi dan kadang-kadang kanker. Dan dalam kasus lain, ini dapat menyebabkan serangan jantung mematikan, karena ledakan kemarahan akan terjadi, dan itu lebih sulit untuk dikontrol. Dan karena kondisi fisik begitu banyak terkait dengan psikologis, ini dapat menyebabkan organ-organ vital lainnya dan kelenjar untuk mengeluarkan hormon sampai-sampai mengganggu, dan akibatnya melemahkan sistem kekebalan, atau menghilangkannya sama sekali setelah terjadi keadaan kritis pada tubuh.

Jadi, ini menjelaskan mengapa sel-sel tubuh yang sehat dapat berubah menjadi kanker karena tidak adanya sistem kekebalan yang normal. Hal ini menunjukkan aspek ilmiah dan filsafat praktis di belakang pengulangan nasihat Nabi Saw. untuk menjaga ketenangan.

Di sisi lain, Dr.Ahmed Shawki Ibrahim, anggota dari Royal Society of Medicine di London dan konsultan kardiologi internal medicine, mengatakan bahwa kodrat manusia ditandai oleh kecenderungan dan perilaku yang berbeda. Sebagai contoh, keinginan jasmani mengarah kepada kemarahan, sifat dominan dilambangkan oleh kecenderungan terhadap kesombongan dan keangkuhan sementara mengikuti hawa nafsu seseorang menghasilkan kebencian dan keengganan untuk orang lain.

Secara umum, di samping penyakit-penyakit psikologis dan fisik lain seperti diabetes dan angina, menurut penelitian ilmiah dan menurut Dr Shawki, mengafirmasi kenyataan bahwa kemarahan yang terus-menerus dapat mempercepat kematian manusia.

Nabi Muhammad Saw. memerintahkan kita untuk menahan diri jika marah karena setiap tindakan di waktu marah itu dapat membawa penyesalan ketika tenang.

Alquran menggambarkan amarah sebagai kekuatan jahat yang memaksa orang untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Ketika Nabi Musa Saw. kepada kaumnya, maka ia marah, lalu dilemparnya lembaran-lembaran kitab suci, lalu ia menarik kepala saudaranya. Kemudian ketika amarah Musa mereda, maka beliau mengambil lembaran-lembaran kitab suci tersebut. Tampak jelas perbandingan antara kedua kondisi tersebut.

Jadi, apa yang kita butuhkan adalah kontrol diri setelah iman yang kuat dan kepercayaan kepada Allah, Pencipta kita. Petunjuk Nabi Saw. mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan itu identik dengan ketenangan, bukan kemarahan yang tak terkontrol.
Obat penenang juga tidak dapat menjadi solusi, karena efeknya justeru negatif.

Penggunaan obat penenang sering mereka dapat menjadikan kecanduan sehingga tidak dapat dihentikan. Cara mengatasinya adalah dengan mengubah perilaku manusia itu sendiri dalam menghadapi masalah sehari-hari, yaitu dengan ketenangan dan kehalusan, bukan dengan marah. Dr. Shawki menambahkan bahwa ada dua terapi psikologis untuk meredakan kemarahan:

Pertama: mengurangi kepekaan emosional dengan melatih pasien, di bawah pengawasan medis, untuk bersantai jika bertemu dengan situasi sulit sedangkan ia tidak merasakan kegembiraan.

Kedua: melalui relaksasi psikologis dan fisik, sembari mengingat pengalaman yang paling sulit dan mengubah posisi fisik, yaitu berdiri, duduk atau berbaring.

Walaupun ini adalah yang direkomendasikan oleh obat ini sangat beberapa tahun terakhir, Nabi-saw-mengajarkannya kepada para sahabatnya dalam hadis yang mengatakan bahwa bila seseorang merasa marah sambil berdiri (misalnya) mereka dapat duduk atau berbaring untuk mengusir kemarahan pergi.

www.eramuslim.com

Rabu, 23 Juni 2010

Sinyal Alquran tentang Bintang Runtuh di Pusat Galaksi

Ketika para ilmuwan mengamati Stellar Collapse di Galactic Center, kita mungkin menemukan sinyal Quran yang luar biasa di dalam ayat,

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
“Demi bintang ketika terbenam.” (QS An-Najm [53]: 1)

Ilmuwan Astronomi dan galaksi mulai memeriksa informasi baru yang berasal dari pusat galaksi yang berisi planet kita. Informasi ini merupakan data primer yang selanjutnya dapat mengungkapkan inti galaksi yang masif ini. Para ilmuwan juga memulai menganalisis data yang menarik ini diperoleh bentuk pengamatan berlanjut dan diobvervasi dengan salah satu teleskop terbesar di dunia, Gemini North di Observatorium Gemini, Hawaii, lautan Pasifik.



Gambar menarik ini menunjukkan runtuhnya bintang dengan awan kosmis sangat besar di inti galaksi Bima Sakti. Para ilmuwan percaya bahwa gambar-gambar ini akan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang akan mengubah pemahaman saat ini tentang pusat galaksi.

Bintang aneh, yang memiliki nama taksonomi ARS 8, menurut para ilmuwan, adalah massa kumpulan gas sampai dekat Gemini Utara. Teknik optikal yang digunakan di dalamnya menunjukkan bahwa gambar ini adalah bintang ambruk di kosmik gas dan awan debu dekat pusat galaksi.

Pengungkapan tentang bintang ini dianggap sebagai keberhasilan besar dalam upaya memahami hakikat inti galaksi melalui pengetahuan ilmuwan tentang bagaimana bintang-bintang dan gas kosmis bergerak relatif, juga studi intensif komponen awan gas, keadaan dan kondisi iklim yang mengelilingi bintang. Hal ini berarti bahwa metode ilmiah baru dalam mencari rincian pada pusat galaksi Bima Sakti akan dikembangkan kemudian.
Pusat galaksi, menurut para ilmuwan, adalah sebuah tempat yang menarik dan aneh, karena mungkin untuk mengamati lingkaran cincin gas kosmik dan bintang-bintang yang berputar dengan cepat di sekitar Black Hole sangat besar oleh ukuran-ukuran kosmis.

Gambar: bintang yang sangat cemerlang bergerak di alam semesta yang luas. Para ilmuwan mengatakan bahwa semua bintang bergerak dengan cepat dan bahwa tidak ada bintang yang tenang, seperti yang terpikir di masa lalu. Allah yang Maha Perkasa menyatakan di dalam Alquran: "Mereka masing-masing mengambang dalam garis edarnya." (Yasin: 40). Sumber: NASA.

Gambar The Brilian Galaxy M101. Para ilmuwan mengatakan bahwa alam semesta memiliki milyaran galaksi yang masing-masing terdiri dari miliaran bintang. Semua bintang berputar dan bergerak, beberapa di antaranya runtuh ke pusat galaksi, beberapa bintang membentur bintang lain, dan ada lebih banyak hal yang tidak ada yang tahu kecuali Allah Ta'ala.

Yang mengejutkan tentang wahyu ini adalah bahwa Alquran telah menunjukkan fakta Stellar Collapse dan bintang rotasi cepat. Allah berfirman:

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS An-Najm [53]: 1-5)

Ayat-ayat ini menyebutkan banyak karakter yang dimiliki semua bintang seperti: bintang runtuh, bintang cepat rotasi, semua bintang kehabisan bahan bakar lalu runtuh dan meledak. Oleh karena itu, kata hawa (runtuh atau jatuh) dalam ayat pertama secara akurat dapat mengekspresikan fenomena ini.

Oleh karena itu, Allah swt, telah bersumpah dengan fenomena ini yang kita menyadari baru-baru ini bahwa Rasul, Muhammad saw, tidak berbicara menurut keinginan sendiri dan bahwa setiap kata yang dikatakan adalah wahyu dari Allah. Seolah-olah Allah Ta'ala ingin berkata kepada setiap orang yang mencurigai kejujuran Muhammad bahwa saat ketika ia menemukan fenomena ini dan observatorium mendeteksi gambar-gambar yang ia tidak akan pernah meragukan antara bintang runtuh.

Selama Anda tidak meragukan fenomena menakjubkan yang ditemukan sekarang, padahal ia tidak diketahui pada saat Al-Quran diturunkan, maka Anda harus menyadari bahwa Al-Qur’an ini bersumber dari Allah Ta'ala.

Akhirnya, kita dapat mengatakan bahwa riset dan studi dapat berfungsi sebagai bukti nyata tentang kejujuran Alquran dan pesan Islam.

Oleh Abduldaem Al-Kaheel
www.eramuslim.com

Kamis, 10 Juni 2010

Sesak Nafas Di Ketinggian

فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ (125)

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS Al-An’am [6]: 125)

Formasi atmosfer sebelumnya tidak diketahu sampai Pascal membuktikan keberadaannya pada 1648. Ia membuktikan bahwa tekanan udara berkurang ketika kita pergi ke tempat yang lebih tinggi di atas permukaan laut.

Belakangan diketahui bahwa udara di lapisan bawah atmosfer lebih padat. Sekitar 50% dari massa udara terletak antara permukaan bumi hingga 20.000 meter di atas permukaan laut, dan 90% terletak antara permukaan bumi hingga 50.000 meter di atas permukaan laut.

Oleh karena itu, kerapatan udara berkurang secara vertikal hingga mencapai paling tekanan terendah di lapisan yang paling tinggi dari atmosfer, sebelum benar-benar menghilang di luar angkasa.

Ketika manusia berjalan lebih dari 10.000 meter di atas permukaan laut, hal itu tidak menyebabkannya berada dalam masalah serius, karena sistem pernafasan dapat mengatasi ketinggian 10.000 hingga 25.000 kaki di atas permukaan laut. Akan tetapi jika seseorang masuk ke luar angkasa, jumlah penurunan tekanan dan oksigen menyebabkan penutupan dada dan dyspnea (sesak napas). Kemudian, proses pernapasan menjadi sulit karena kekurangan oksigen dan sistem pernapasan sepenuhnya gagal, sehingga menyebabkan kematian.

Sudah lazim diketahui bahwa berbagai informasi tentang lapisan atmosfer tidak dikenal pada saat Alquran diturunkan. Akibatnya, tekanan rendah dan penurunan oksigen—sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan manusia—di lapisan yang lebih tinggi juga tidak diketahui. Orang-orang pada waktu itu tidak mengetahui fakta-fakta ini. Sebaliknya, mereka percaya bahwa setiap kali seseorang menaiki tempat yang lebih tinggi, maka dia akan merasa lebih tenang dan bahagia serta bisa menikmati angin.

Ayat mulia ini jelas menunjukkan dua fakta yang telah hanya ditemukan akhir-akhir ini oleh ilmu pengetahuan modern. Yang pertama adalah dyspnea yang terjadi jika seseorang berjalan lebih tinggi di lapisan atmosfer karena kekurangan oksigen dan penurunan tekanan udara. Yang kedua adalah kesusahan napas yang mengarah pada kematian terjadi ketika seseorang berjalan lebih dari 30.000 meter di atas permukaan laut. Hal ini disebabkan oleh penurunan drastis tekanan udara dan kekurangan oksigen secara ekstrem.

Yang penting untuk dicatat adalah keajaiban pemilihan kata yashsha’adu (menaiki) yang menunjukkan suatu kondisi yang sulit dan menggambarkan rasa sakit dan penderitaan yang menyertainya. Ini merupakan indikasi pasti bahwa Al-Qur’an ini benar-benar bersumber dari Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.

Oleh Dr. Mohamad Daudah
www.eramuslim.com

Jumat, 21 Mei 2010

Titik Bumi yang Terendah

"Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (Ar-Rahman: 19-22)

Tidak sampai tahun 1873 sudah diketahui bahwa perairan memiliki sifat yang berbeda dan bahwa mereka bukan hanya satu laut besar. Ini ditemukan setelah ekspedisi Challenger yang berlangsung selama tiga tahun. Hanya pada tahun 1942, hasil penelitian panjang muncul untuk pertama kalinya mendukung fakta ini.

Ratusan pusat penelitian laut menemukan bahwa Samudera Atlantik, misalnya, berisi air yang memiliki karakteristik yang berbeda dalam suhu, kerapatan, asin, kehidupan laut, dan kemampuan untuk menyerap oksigen. Perbedaan tersebut dapat ditemukan di satu tempat. Bagaimana jika kita membuat perbandingan antara dua laut yang berbeda seperti Laut Merah dan Mediterania, Samudra Atlantik dan Mediterania, dan laut Merah dan Teluk Aden?

Pada tahun 1942, ditemukan bahwa di laut tertentu, perairan mengalami pasang namun masing-masing mempertahankan komposisi dan karakteristik yang berbeda. Air laut bergerak dengan cepat dan keras dengan cara yang membuat massa air bercampur dan berbaur. Namun, setiap massa mampu menjaga karakteristik dan kualitasnya. Pasang surut, arus air, ombak dan badai semua berkontribusi terhadap pengadukan air laut. Namun, setiap massa tidak pernah kehilangan sifat-sifat sendiri bahkan setelah dicampur dengan massa lain, seakan-akan ada penghalang di antara mereka.

Ayat di atas memberitahu kita tentang dua lautan yang berdampingan di mana masing-masing airnya asin, dan bercampur dengan air laut yang lain, namun ia dapat menjaga kualitasnya. Alquran mengatakan kepada kita bahwa mutiara dan karang dapat ditemukan di kedua lautan. Ia berarti bahwa bahwa air pada keduanya asin, dan karang dan mutiara ditemukan dalam air asin saja. Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini berbicara tentang samudera dan laut yang seolah-olah tampak memiliki massa air yang sama, padahal mereka mengandung massa air dengan kualitas yang berbeda.

Samudra dan lautan asin tampak bagi kita memiliki kualitas yang sama dan sebagai satu massa. Namun faktanya adalah bahwa laut dan samudra memiliki massa air yang berbeda satu sama lain. Hanya dengan teknologi modern kita bisa melihat sejauh mana perbedaan mereka.

Namun Alquran mengungkapkan fakta ini sejak lama sekali bahwa meskipun satu sama lain berdampingan, air dari dua laut tidak akan pernah melewati batas yang lain (maksudnya tidak akan bercampur dan larut satu sama lain). Mereka akan selalu menjaga kualitasnya, seakan-akan ada penghalang di antara mereka. Bukankah ini cukup bukti bahwa Alquran adalah firman Allah?

Oleh Dr. Mohamad Daudah
www.eramuslim.com